Kamis, 20 November 2008

RINGKASAN PENTING TENTANG RUKUN, SYARAT NIKAH DAN SYARAT WALI

Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh.sahabat G+ yang berbahagia dan dirahmati Allah SWT.Pernikahan dalam Islam adalah ibadah.karenanya penting memperhatikan syarat rukunnya pernikahan."Mitsaqon gholidhoh"perjanjian yang kokoh,hak istri adalah kuajiban suami.begitu juga sebaliknya.jika semua menyadari dan melaksanakan dengan baik,maka akan terwujud keluarga yang damai tentram dan bahagia, tentunya dunia-akhirat. Semoga keluarga.
Ya allah jadikanlah keluarga kami semua keluarga yang engkau ridhoi.amin.
Khoirin Abdullah Batarvie Assagaf originally shared:
 
RINGKASAN PENTING TENTANG RUKUN,
SYARAT NIKAH DAN SYARAT WALI

Apa rukun akad nikah dan syarat-syaratnya?


Alhamdullah

Rukun akad nikah dalam Islam ada tiga:

1. Adanya kedua mempelai yang tidak memiliki penghalang keabsahan nikah seperti adanya hubungan mahram dari keturunan, sepersusuan atau semisalnya. Atau pihak laki-laki adalah orang kafir sementara wanitanya muslimah atau semacamnya.

2. Adanya penyerahan (ijab), yang diucapkan wali atau orang yang menggantikan posisinya dengan mengatakan kepada (calon) suami, 'Saya nikahkan anda dengan fulanah' atau ucapan semacamnya.

3. Adanya penerimaan (qabul), yaitu kata yang diucapkan suami atau ada orang yang menggantikan posisinya dengan mengatakan, 'Saya menerimnya.' atau semacamnya.

Adapun syarat-syarat sahnya nikah adalah:

1. Masing-masing kedua mempelai telah ditentukan, baik dengan isyarat, nama atau sifat atau semacamnya.

2. Kerelaan kedua mempelai. Berdasarkan sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam:

لا تُنْكَحُ الأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلا تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ إِذْنُهَا، قَالَ أَنْ تَسْكُتَ (رواه البخاري، رقم 4741)

“Al-Ayyimu (wanita yang pisah dengan suaminya karena meninggal atau cerai) tidak dinikahkan mendapatkan perintah darinya (harus diungkapkan dengan jelas persetujuannya). Dan gadis tidak dinikahkan sebelum diminta persetujuannya (baik dengan perkataan atau diam). Para shahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana persetujuannya?' Beliau menjawab, 'Dia diam (sudah dianggap setuju)." (HR. Bukhori, no. 4741)

3. Yang melakukan akad bagi pihak wanita adalah walinya. Karena dalam masalah nikah Allah mengarahkan perintahnya kepada para wali.

FirmanNya, ‘Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu" (QS. An-Nur: 32)

Juga berdasarkan sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam,

أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ (رواه الترمذي، رقم 1021 وغيره وهو حديث صحيح)

“Wanita mana saja yang menikah tanpa izin dari walinya, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal." (HR. Tirmizi, no. 1021)

Dan hadits lainnya yang shahih.

4. Ada saksi dalam akad nikah.

Berdasarkan sabda Nabi sallahu’alaihi wa sallam,

لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْنِ  (رواه الطبراني، وهو في صحيح الجامع 7558)

“Tidak (sah) nikah kecuali dengan kehadiran wali dan dua orang saksi.” (HR. Thabrani. Hadits ini juga terdapat dalam kitab Shahih Al-Jami’, no. 7558)

Sangat dianjurkan mengumumkan pernikahan. Berdasarkan sabda Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam, "Umumkanlah pernikahan kalian’ (HR. Imam Ahmad. Dihasankan dalam kitab Shahih Al-Jami’, no. 1072).

Adapun syarat untuk wali, sebagai berikut:

1.      Berakal.

2.      Baligh.

3.      Merdeka (bukan budak).

4.      Kesamaan agama. Maka tidak sah wali kafir untuk orang Islam laki-laki dan perempuan. Begitu pula tidak sah perwalian orang Islam untuk orang kafir laki-laki atau perempuan. Adapun orang kafir menjadi wali bagi wanita kafir adalah, meskipun berbeda agamanya. Dan orang yang keluar dari agama (murtad) tidak bisa menjadi wali bagi siapapun.

5.      Adil, bukan fasik. Sebagian ulama menjadikan hal ini sebagai syarat, tapi sebagian lain mencukupkan dengan syarat sebelumnya. Sebagian lagi mencukupkan syarat dengan kemaslahatan bagi yang diwalikan untuk menikahkannya.

6.      Laki-laki.

Berdasarkan sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam,

لا تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ وَلا تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا فَإِنَّ الزَّانِيَةَ هِيَ الَّتِي تُزَوِّجُ نَفْسَهَا (رواه ابن ماجة، رقم 1782 وهو في صحيح الجامع 7298)

“Wanita tidak (dibolehkan) menikahkan wanita lainnya. Dan wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri. Karena wanita pezina adalah yang menikahkan dirinya sendiri."  (HR. Ibnu Majah,  no. 1782. Hadits ini terdapat dalam Shahih Al-Jami, no. 7298)

7.      Bijak, yaitu orang yang mampu mengetahui kesetaraan (antara kedua pasangan) dan kemaslahatan pernikahan.

Para wali harus berurutan menurut ahli fiqih. Maka tidak dibolehkan melewati wali terdekat, kecuali jika wali terdekat tidak ada atau tidak memenuhi syarat. Wali seorang wanita adalah bapaknya, kemudian orang yang diwasiatkannya untuk menjadi walinya, lalu kakek dari bapak sampai ke atas, lalu  anak laki-lakinya, lalu cucu sampai ke bawah. Kemudian saudara laki-laki sekandung,  berikutnya saudara laki-laki seayah, kemudian anak dari keduanya.  Kemudian paman sekandung, lalu paman sebapak, kemudian anak dari keduanya. Kemudian yang terdekat dari sisi keturunan dari asobah seperti dalam waris. Kemudian penguasa muslim (dan orang yang menggantikannya seperti Hakim) sebagai wali bagi yang tidak mempunyai perwalian.

Wallahu’alam .
Wong alus

Senin, 10 November 2008

ULAMA MURSYID THORIQOH


SYAIKH ABDUL QODIR AL JAELANI


Syeikh Abdul Qodir Jaelani (bernama lengkap Muhy al-Din Abu Muhammad Abdul Qodir ibn Abi Shalih Zango Dost al-Jaelani) lahir di Jailan atau Kailan tahun 470 H/1077 M, sehingga diakhir nama beliau ditambahkan kata Al Jailani atau Al Kailani atau juga Al Jiliydan.(Biaografi beliau dimuat dalam Kitab Adz Dzail ‘Ala Thabaqil Hanabilah I/301-390, nomor 134, karya Imam Ibnu Rajab Al Hambali. Buku ini belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia). Beliau wafat pada hari Sabtu malam, setelah maghrib, pada tanggal 9 Rabi’ul Akhir di daerah Babul Azajwafat di Baghdad pada 561 H/1166 M.
Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al-Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al-Ghazali.
Masa muda

Beliau meninggalkan tanah kelahiran, dan merantau ke Baghdad pada saat beliau masih muda. Di Baghdad belajar kepada beberapa orang ulama’ seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husein Al Farra’ dan juga Abu Sa’ad Al Muharrimi. Beliau belajar sehingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama’. Suatu ketika Abu Sa’ad Al Mukharrimi membangun sekolah kecil-kecilan di daerah yang bernama Babul Azaj. Pengelolaan sekolah ini diserahkan sepenuhnya kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani. Beliau mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh. Bermukim disana sambil memberikan nasehat kepada orang-orang yang ada tersebut. Banyak sudah orang yang bertaubat setelah mendengar nasehat beliau. Banyak orang yang bersimpati kepada beliau, lalu datang ke sekolah beliau, sehingga sekolah itu tidak muat menampungnya. Syekh Abdul Qadir Jailani adalah seorang sufi.
Murid-murid
Murid-murid beliau banyak yang menjadi ulama’ terkenal. Seperti Al Hafidz Abdul Ghani yang menyusun kitab Umdatul Ahkam Fi Kalami Khairil Anam. Juga Syeikh Qudamah penyusun kitab fiqh terkenal Al Mughni.
Perkataan ulama tentang beliau : Syeikh Ibnu Qudamah rahimahullah ketika ditanya tentang Syeikh Abdul Qadir, beliau menjawab, ” kami sempat berjumpa dengan beliau di akhir masa kehidupannya. Beliau menempatkan kami di sekolahnya. Beliau sangat perhatian terhadap kami. Kadang beliau mengutus putra beliau yang bernama Yahya untuk menyalakan lampu buat kami. Beliau senantiasa menjadi imam dalam shalat fardhu.”
Syeikh Ibnu Qudamah sempat tinggal bersama beliau selama satu bulan sembilan hari. Kesempatan ini digunakan untuk belajar kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani sampai beliau meninggal dunia. (Siyar A’lamin NubalaXX/442). Beliau adalah seorang ‘alim. Beraqidah Ahlu Sunnah, mengikuti jalan Salafush Shalih. Dikenal banyak memiliki karamah-karamah. Tetapi banyak (pula) orang yang membuat-buat kedustaan atas nama beliau. Kedustaan itu baik berupa kisah-kisah, perkataan-perkataan, ajaran-ajaran, “thariqah” yang berbeda dengan jalan Rasulullah, para sahabatnya, dan lainnya. Diantaranya dapat diketahui dari perkataan Imam Ibnu Rajab, ”
Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah seorang yang diagungkan pada masanya. Diagungkan oleh banyak para syeikh, baik ‘ulama dan para ahli zuhud. Beliau banyak memiliki keutamaan dan karamah. Tetapi ada seorang yang bernama Al Muqri’ Abul Hasan Asy Syathnufi Al Mishri (Nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Yusuf bin Jarir Al Lakh-mi Asy Syath-Nufi. Lahir di Kairo tahun 640 H, meninggal tahun 713 H. Dia dituduh berdusta dan tidak bertemu dengan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani) mengumpulkan kisah-kisah dan keutamaan-keutamaan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam tiga jilid kitab. Dia telah menulis perkara-perkara yang aneh dan besar (kebohongannya ). Cukuplah seorang itu berdusta, jika dia menceritakan yang dia dengar. Aku telah melihat sebagian kitab ini, tetapi hatiku tidak tentram untuk berpegang dengannya, sehingga aku tidak meriwayatkan apa yang ada di dalamnya. Kecuali kisah-kisah yang telah masyhur dan terkenal dari selain kitab ini. Karena kitab ini banyak berisi riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal. Juga terdapat perkara-perkara yang jauh ( dari agama dan akal ), kesesatan-kesesatan, dakwaan-dakwaan dan perkataan yang batil tidak berbatas. (Seperti kisah Syeikh Abdul Qadir menghidupkan ayam yang telah mati, dan sebagainya.) semua itu tidak pantas dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani rahimahullah. Kemudian aku dapatkan bahwa Al Kamal Ja’far Al Adfwi (Nama lengkapnya ialah Ja’far bin Tsa’lab bin Ja’far bin Ali bin Muthahhar bin Naufal Al Adfawi. Seoarang ‘ulama bermadzhab Syafi’i. Dilahirkan pada pertengahan bulan Sya’ban tahun 685 H. Wafat tahun 748 H di Kairo. Biografi beliau dimuat oleh Al Hafidz di dalam kitab Ad Durarul Kaminah, biografi nomor 1452.) telah menyebutkan, bahwa Asy Syath-nufi sendiri tertuduh berdusta atas kisah-kisah yang diriwayatkannya dalam kitab ini.”(Dinukil dari kitab At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa’dah 1415 H / 8 April 1995 M.). Imam Ibnu Rajab juga berkata, ” Syeikh Abdul Qadir Al Jailani rahimahullah memiliki pemahaman yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu ma’rifat yang sesuai dengan sunnah. Beliau memiliki kitab Al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq, kitab yang terkenal. Beliau juga mempunyai kitab Futuhul Ghaib. Murid-muridnya mengumpulkan perkara-perkara yang berkaitan dengan nasehat dari majelis-majelis beliau. Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya, ia berpegang dengan sunnah. Beliau membantah dengan keras terhadap orang-orang yang menyelisihi sunnah.”
Syeikh Abdul Qadir Al Jailani menyatakan dalam kitabnya, Al Ghunyah, ” Dia (Allah ) di arah atas, berada diatas ‘arsyNya, meliputi seluruh kerajaanNya. IlmuNya meliputi segala sesuatu.” Kemudian beliau menyebutkan ayat-ayat dan hadist-hadist, lalu berkata ” Sepantasnya menetapkan sifat istiwa’ ( Allah berada diatas ‘arsyNya ) tanpa takwil ( menyimpangkan kepada makna lain ). Dan hal itu merupakan istiwa’ dzat Allah diatas arsy.” (At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 515). Ali bin Idris pernah bertanya kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, ” Wahai tuanku, apakah Allah memiliki wali (kekasih ) yang tidak berada di atas aqidah ( Imam ) Ahmad bin Hambal?” Maka beliau menjawab, ” Tidak pernah ada dan tidak akan ada.”( At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 516).
Perkataan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani tersebut juga dinukilkan oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Al Istiqamah I/86. Semua itu menunjukkan kelurusan aqidahnya dan penghormatan beliau terhadap manhaj Salaf.
Sam’ani berkata, ” Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah penduduk kota Jailan. Beliau seorang Imam bermadzhab Hambali. Menjadi guru besar madzhab ini pada masa hidup beliau.” Imam Adz Dzahabi menyebutkan biografi Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam Siyar A’lamin Nubala, dan menukilkan perkataan Syeikh sebagai berikut,”Lebih dari lima ratus orang masuk Islam lewat tanganku, dan lebih dari seratus ribu orang telah bertaubat.”
Imam Adz Dzahabi menukilkan perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan Syeikh Abdul Qadir yang aneh-aneh sehingga memberikan kesan seakan-akan beliau mengetahui hal-hal yang ghaib. Kemudian mengakhiri perkataan, ”Intinya Syeikh Abdul Qadir memiliki kedudukan yang agung. Tetapi terdapat kritikan-kritikan terhadap sebagian perkataannya dan Allah menjanjikan (ampunan atas kesalahan-kesalahan orang beriman ). Namun sebagian perkataannya merupakan kedustaan atas nama beliau.”( Siyar XX/451 ). Imam Adz Dzahabi juga berkata, ” Tidak ada seorangpun para kibar masyasyeikh yang riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak diantara riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi“.
Syeikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali berkata dalam kitabnya, Al Haddul Fashil,hal.136, ” Aku telah mendapatkan aqidah beliau ( Syeikh Abdul Qadir Al Jailani ) didalam kitabnya yang bernama Al Ghunyah. (Lihat kitab Al-Ghunyah I/83-94) Maka aku mengetahui bahwa dia sebagai seorang Salafi. Beliau menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan aqidah-aqidah lainnya di atas manhaj Salaf. Beliau juga membantah kelompok-kelompok Syi’ah, Rafidhah,Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya dengan manhaj Salaf.” (At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa’dah 1415 H / 8 April 1995 M.)
Inilah tentang beliau secara ringkas. Seorang ‘alim Salafi, Sunni, tetapi banyak orang yang menyanjung dan membuat kedustaan atas nama beliau. Sedangkan beliau berlepas diri dari semua kebohongan itu. Wallahu a’lam bishshawwab.
Kesimpulannya beliau adalah seorang ‘ulama besar. Apabila sekarang ini banyak kaum muslimin menyanjung-nyanjungnya dan mencintainya, maka itu adalah suatu kewajaran. Bahkan suatu keharusan. Akan tetapi kalau meninggi-ninggikan derajat beliau di atas Rasulullah shollallahu’alaihi wasalam, maka hal ini merupakan kekeliruan yang fatal. Karena Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasalam adalah rasul yang paling mulia diantara para nabi dan rasul. Derajatnya tidak akan terkalahkan disisi Allah oleh manusia manapun. Adapun sebagian kaum muslimin yang menjadikan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani sebagai wasilah ( perantara ) dalam do’a mereka, berkeyakinan bahwa do’a seseorang tidak akan dikabulkan oleh Allah, kecuali dengan perantaranya. Ini juga merupakan kesesatan. Menjadikan orang yang meninggal sebagai perantara, maka tidak ada syari’atnya dan ini diharamkan. Apalagi kalau ada orang yang berdo’a kepada beliau. Ini adalah sebuah kesyirikan besar. Sebab do’a merupakan salah satu bentuk ibadah yang tidak diberikan kepada selain Allah. Allah melarang mahluknya berdo’a kepada selain Allah. “Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya disamping (menyembah ) Allah. ( QS. Al-Jin : 18 )”
Jadi sudah menjadi keharusan bagi setiap muslim untuk memperlakukan para ‘ulama dengan sebaik mungkin, namun tetap dalam batas-batas yang telah ditetapkan syari’ah. Akhirnya mudah-mudahan Allah senantiasa memberikan petunjuk kepada kita sehingga tidak tersesat dalam kehidupan yang penuh dengan fitnah ini.
Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Abdul Qadir Jaelani menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Baghdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpin anak kedua Abdul Qadir Jaelani, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai hancurnya Baghdad pada tahun 656 H/1258 M.
Syeikh Abdul Qadir Jaelani juga dikenal sebagai pendiri sekaligus penyebar salah satu tarekat terbesar didunia bernama Tarekat Qodiriyah
Sebagaimana kita ketahui, ada sementara orang yang menganggap haram bila kita menghadiahkan Al Fatihah kepada Syaikh Abdul Qodir, sementara ada pula orang yang meragukan kewalian beliau, bahkan yang lebih ekstrem lagi, ada yang sama sekali tidak mempercayai adanya wali Allah. Astaghfirullah! Padahal Allah sendiri mengatakan ADA, sebagaimana dalam firman-Nya:

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah, tiada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati.” (QS. Yunus: 62)

Ayat di atas adalah ayat yang sudah jelas maknanya sehingga kita tidak perlu meragukan lagi kebenarannya. Sebab, apabila kita tidak mempercayainya, berarti hancurlah sudah keimanan kita kepada Allah SWT. Na’udzubillahi min dhalik. Maka, dengan berpedoman pada ayat tersebut, saya ingin menampilkan salah seorang waliyullah yang begitu mulia derajatnya di sisi Allah SWT. Orang yang mulia memang pantas untuk diberitakan, meskipun ia akan tetap mulia tanpa diberitakan.

Siapakah Wali-wali Allah itu?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka tak perlu ragu lagi kita untuk membaca lanjutan ayat sebelumnya:
“(yaitu) Orang-orang yang beriman dan selalu bertaqwa.” (QS. Yunus: 63).

Jadi, jelaslah bahwa wali-wali Allah adalah orang-orang yang beriman dan selalu bertaqwa kepada Allah. Karena sedemikian beriman dan bertaqwanya mereka kepada Allah, membuat mereka menjadi begitu dekat kepada-Nya. Memang, kata “wali” (jamak, auliyaa’) mengandung unsur makna “kedekatan” pada Sang Pencipta. Sehingga tak mengherankan jika orang-orang Barat menerjemahkan kata wali atau auliyaa’ dengan istilah “friends of God”, teman-teman Tuhan. Namun bagi pemahaman bahasa kita, tidak pantaslah bagi kita untuk menerjemahkan kata wali dengan istilah tersebut. Sebab, Allah tidak membutuhkan teman atau sekutu, yang ada hanyalah hamba-hamba-Nya yang terkasih. Atau bolehlah kita menggunakan istilah “para kekasih Allah”.

Lantas, siapa sajakah para kekasih Allah itu? Ada banyak sekali, di antaranya adalah para nabi dan rasul, para shodiqin, syuhada’, dan para ulama. Dan di antara para ulama, terdapatlah seorang yang bernama Syaikh Abdul Qodir al-Jaelani. Meskipun beliau bukanlah seorang nabi atau rasul, namun siapakah yang berani meragukan dia sebagai “orang yang beriman dan selalu bertaqwa”, yang di dalam Surat Yunus 62 dapat digolongkan sebagai wali Allah?

Sejarah Keluarga dan Kelahirannya

Namanya adalah Abdul Qodir, yang berarti “hamba dari Dzat yang Maha Kuasa”. Ia juga dikenal dengan berbagai gelar atau sebutan seperti; Muhyiddin, al Ghouts al Adlom, Sultan al Auliyaa’, dan sebagainya. Ia masih keturunan Rasulullah SAW, karena ibunya yang bernama Ummul Khair Fatimah adalah keturunan Sayyidina Husain, sedangkan ayahnya yang bernama Syaikh Abu Saleh Musa adalah keturunan Sayyidina Hasan. Sementara sayyidina Hasan dan Husain adalah putra-putra dari Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib dan Fatimah ra., putri Sang Nabi Agung Sayyidina Rasulullah SAW. Itulah sebab kenapa Syaikh Abdul Qodir juga diberi gelar sebagai al Hasani al Husaini, yaitu keturunan Hasan dan Husain, cucu-cucu dari rasulullah SAW. Jadi, silsilah keluarga Syaikh Abdul Qodir al-Jaelani jika diurutkan ke atas, maka akan sampai ke Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib. Dan dari fihak ayahandanya melewati 14 generasi, sementara dari fihak ibunya melewati 12 generasi.

Menurut penuturan yang otentik, Syaikh Abdul Qodir dilahirkan di suatu tempat yang bernama Nif, yang terletak di daerah Jaelan (Persia). Sedangkan menurut Imam Yaqut Hamim, ia lahir di Basytir. Akan tetapi, hampir semua ahli sejarah sepakat bahwa Nif dan Basytir adalah dua nama yang berbeda, namun pada hakikatnya merupakan satu tempat yang sama. Maka Syaikh Abdul Qodir, karena ia lahir di Jaelan, kemudian dikenal dengan sebutan al-Jaelani.

Ia dilahirkan pada tahun 1077 M, pada saat ibunya sudah berusia 60 tahun. Kemudian setelah ia menanjak ke masa remaja, ia pun minta izin pada sang ibu untuk pergi menuntut ilmu. Oleh sang ibu, ia dibekali sejumlah uang yang tidak sedikit, dengan disertai pesan agar ia tetap menjaga kejujurannya, jangan sekali-sekali berbohong pada siapapun. Maka, berangkatlah Abdul Qodir muda untuk memulai pencarian ilmunya. Namun ketika perjalanannya hampir sampai di daerah Hamadan, tiba-tiba kafilah yang ditumpanginya diserbu oleh segerombolan perampok hingga kocar-kacir. Salah seorang perampok menghampiri Abdul Qodir, dan bertanya, “Apa yang engkau punya?” Abdul Qodir pun menjawab dengan terus terang bahwa ia mempunyai sejumlah uang di dalam kantong bajunya. Perampok itu seakan-akan tidak percaya dengan kejujuran Abdul Qodir, kemudian ia pun melapor pada pemimpinnya. Sang pemimpin rampok pun segera menghampiri Abdul Qodir dan menggeledah bajunya. Ternyata benar, di balik bajunya itu memang ada sejumlah uang yang cukup banyak. Seperti takjub, kepala rampok itu lalu berkata kepada Abdul Qodir: “Kenapa kau tidak berbohong saja ketika ada kesempatan untuk itu?” Maka Abdul Qodir pun menjawab: “Aku telah dipesan oleh ibundaku untuk selalu berkata jujur. Dan aku tak sedikitpun ingin mengecewakan beliau.” Sejenak kepala rampok itu tertegun dengan jawaban Abdul Qodir, lalu berkata: “Sungguh engkau sangat berbakti pada ibumu, dan engkau pun bukan orang sembarangan.” Kemudian ia serahkan kembali uang itu pada Abdul Qodir dan melepaskannya pergi. Konon, sejak saat itu sang perampok menjadi insyaf dan membubarkan gerombolannya.
Pencarian ilmunya berlanjut, hingga kemudian berangkatlah Abdul Qodir ke Baghdad di tahun at Tamimi (seorang sufi besar) wafat. Itu pada tahun 488 H, ketika ia telah berusia 18 tahun.
Pada saat itu, khalifah di Baghdad adalah Muqtadi bi-Amrillah dari dinasti Abbasiyyah.
Menurut Syekh Imam Taqiyyuddin, dalam kitabnya “Raudhatul Abrar”, inilah yang terjadi:
“Ketika Syekh Abdul Qodir hampir memasuki kota Baghdad, ia dihentikan oleh al Khidi as. yang mencegahnya masuk ke kota itu, dan ia berkata: “Aku tak mempunyai perintah (dari Allah) untuk mengijinkanmu masuk (ke Baghdad) sampai 7 tahun ke depan.” Oleh karena itu, Syekh Abdul Qodir pun menetap di tepi sungai Tigris selama 7 tahun. Ia hanya memakan sayur-sayuran dan dedaunan yang boleh dimakan, hingga lehernya berwarna hijau. Sampai akhirnya ia terbangun di tengah malam dan mendengar suara yang dialamatkan kepadanya: “Hai Abdul Qodir, masuklah ke Baghdad.”
Maka, ia pun masuk ke Baghdad, dan di kota itulah ia berjumpa dengan para syekh, tokoh-tokoh sufi, dan para ulama besar. Di antaranya adalah Syekh Yusuf al Hamadani, dari dialah Abdul Qodir mendapat ilmu tentang tasawwuf. Syekh al Hamadani sendiri telah menyaksikan bahwa Abdul Qodir adalah seorang yang istimewa, dan kelak akan menjadi seorang yang terkemuka di antara para wali. Ia berkata: “Wahai Abdul Qodir, sesungguhnya aku telah melihat bahwa kelak engkau akan duduk di tempat yang paling tinggi di Baghdad, dan pada saat itu kaun akan berkata: : “Kakiku ada di atas pundak para wali.”
Kemudia Syekh Abdul Qodir bertemu dengan Syekh Hammad ad-Dabbas, dan berguru pula padanya. Dari dia, Syekh Abdul Qodir mendapatkan ilmu Toriqoh. Adapun akar dari toriqohnya adalah Syari’ah. Dalam hal syari’ah, Syekh Abdul Qodir adalah penganut madzhab Hanbali, namun ia pun seorang yang ahli dalam fiqih madzhab Syafi’i. Adapun toriqoh beliau untuk mendekatkan diri pada Allah adalah dengan doa siang malam melalui dzikir, sholawat, puasa sunnah, zakat maupun shodaqoh, zuhud dan jihad, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW sendiri.
Syekh Hammad ad-Dabbas pun telah memprediksikan bahwa suatu saat Syekh Abdul Qodir, atas kehendak Allah, akan memaklumatkan bahwa kakinya ada di atas pundak para wali (baca: memimpin sekalian para wali pada zaman itu). Dan ramalan itu pun terbukti ketika Syekh Abdul Qodir mengumumkan dalam sebuah majelis di tahun 1165 M, di mana pada saat itu hadir lebih dari 40 masyayikh seantero Irak. Sekalian masyayikh itu, baik yang hadir di situ maupun yang berada di negeri seberang sana, tidak pernah menyangkal fatwa itu, bahwa pundak mereka memang berada di bawah kaki Syekh Abdul Qodir al-Jaelani. Dan mengakui bahwa Syekh Abdul Qodir al-Jaelani adalah Wali Qutub, pemimpin sekalian para waliyullah pada zamannya.
Kemudian Syekh Abdul Qodir berguru pada al Qadi Abu Said al Mukharimi. Di Babul Azaj, Syekh al Mukharimi mempunyai madrasah kecil, yang kemudian pengelolaannya diserahkan kepada Syekh Abdul Qodir. Di situlah Syekh Abdul Qodir berdakwah pada masyarakat, baik yang muslim maupun non-muslim. Maka segera terbukti bahwa Syekh Abdul Qodir memang memiliki karomah, khutbahnya penuh dengan kekuatan Tauhid yang luar biasa. Caranya memberi nasihat berbeda dengan para syekh maupun ulama lainnya, sehingga membuat orang-orang harus mengakui bahwa ia adalah seorang Qutb al Aqtaab, wali qutub, raja para wali. Dengan pesat reputasinya pun melonjak, dan pengikutnya pun semakin bertambah sehingga membuat madrasah itu menjadi terlalu sempit karena dipenuhi oleh orang-orang yang tertarik dengan majelisnya.
Dan dari Syekh al Mukharimi itulah Syekh Abdul Qodir menerima khirqoh (jubah ke-sufi-an), yang mana khirqoh itu secara turun-temurun telah berpindah tangan dari beberapa tokoh sufi yang agung. Di antaranya adalah: Syekh Junaid al-Baghdadi, Syekh Siri as-Saqoti, Syekh Ma’ruf al Karkhi, dan sebagainya.
Kesaksian para Syekh
Syekh Junaid al-Baghdadi, hidup 200 tahun sebelum kelahiran Syekh Abdul Qodir. Namun, pada saat itu ia telah memprediksikan akan kedatangan Syekh Abdul Qodir al-Jaelani, dengan cara sebagai berikut:
“Suatu ketika Syekh Junaid al-Baghdadi sedang bertafakur, tiba-tiba dalam keadaan jadab ia mengucap: “Kakinya ada di atas pundakku! Kakinya ada di atas pundakku!” Setelah ia tenang kembali, murid-muridnya menanyakan apa maksud ucapan beliau itu. Kata Syekh Junaid al-Baghdadi: “Aku diberitahukan bahwa kelak akan lahir seorang wali besar, namanya adalah Abdul Qodir yang bergelar Muhyiddin. Dan pada saatnya kelak, atas kehendak Allah, ia akan mengatakan: “Kakiku ada di atas pundak para Wali.”
Syekh Abu Bakar ibn Hawara, juga hidup sebelum masa Syekh Abdul Qodir. Ia adalah salah seorang masyayikh yang terkemuka di Baghdad. Konon, saat ia sedang mengajar di majelisnya, ia berkata:
“Ada 8 pilar agama (autad) di Irak, mereka itu adalah; 1) Syekh Ma’ruf al Karkhi, 2) Imam Ahmad ibn Hanbal, 3) Syekh Bisri al Hafi, 4) Syekh Mansur ibn Amar, 5) Syekh Junaid al-Baghdadi, 6) Syekh Siri as-Saqoti, 7) Syekh Abdullah at-Tustari, dan 8) Syekh Abdul Qodir al-Jaelani.”
Ketika mendengar hal itu, seorang muridnya yang bernama Syekh Muhammad ash-Shanbaki bertanya: “Kami telah mendengar ke tujuh nama itu, tapi yang ke delapan kami belum mendengarnya. O, Syekh, siapakah Syekh Abdul Qodir al-Jaelani?”
Maka Syekh Abu Bakar pun menjawab: “Abdul Qodir adalah sholihin yang tidak terlahir di Arab, tetapi di Jaelan (Persia) dan akan menetap di Baghdad.”
Qutb al Irsyad Abdullah ibn Alawi al Haddad ra. (1044-1132 H), dalam kitabnya “Risalatul Mu’awanah” menjelaskan tentang tawakkal, dan beliau memilih Syekh Abdul Qodir al-Jaelani sebagai suri-teladannya. Berikut inilah keterangannya:
“Seorang yang benar-benar tawakkal mempunyai 3 tanda. Pertama, ia tidak takut ataupun mengharapkan sesuatu kepada selain Allah. Ke dua, hatinya tetap tenang dan bening, baik di saat ia membutuhkan sesuatu ataupun di saat kebutuhannnya itu telah terpenuhi. Ke tiga, hatinya tak pernah terganggu meskipun dalam situasi yang paling mengerikan sekalipun. Dalam hali ini, contohnya adalah Sayyidi Syekh Abdul Qodir al-Jaelani. Suatu ketika beliau sedang berceramah di suatu majelis, tiba-tiba saja jatuh seekor ular berbisa yang sangat besar di atas tubuhnya sehingga membuat para hadirin menjadi panik. Ular itu membelit Syekh Abdul Qodir, lalu masuk ke lengan bajunya dan keluar lewat lengan baju yang lainnya. Sedangkan beliau tetap tenang dan tak gentar sedikitpun, bahkan beliau tak menghentikan ceramahnya.
Ini membuktikan bahwa Syekh Abdul Qodir al-Jaelani benar-benar seorang yang tawakkal dan memiliki karomah. Dan itu mengingatkan saya akan firman Allah: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah, tiada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati.” (QS. Yunus: 62)
al Hafidz al Barzali, dalam kitabnya “al Masyakhotul Baghdadiyyah” mengatakan:
“Syekh Abdul Qodir al-Jaelani adalah seorang ahli fiqih dari madzhab Hanbali dan Syafi’i sekaligus, dan merupakan syekh (guru besar) dari penganut kedua madzhab tersebut. Dia adalah salah satu pilar Islam yang doa-doanya selalu makbul, setia dalam berdzikir, tekun dalam tafakur dan berhati lembut. Dia adalah seorang yang mulia, baik dalam akhlak maupun garis keturunannya, bagus dalam ibadah maupun ijtihadnya.”
Abdullah al Jubba’i mengatakan:
“Syekh Abdul Qodir al-Jaelani mempunyai seorang murid yang bernama Umar al Halawi. Dia pergi dari Baghdad selama bertahun-tahun, dan ketika ia pulang, aku bertanya padanya: “Kemana saja engkau selama ini, ya Umar?” Dia menjawab: “Aku pergi ke Syiria, Mesir, dan Persia. Di sana aku berjumpa dengan 360 syekh yang semuanya adalah waliyullah. Tak satu pun di antara mereka tidak mengatakan: “Syekh Abdul Qodir al-Jaelani adalah syekh kami, dan pembimbing kami ke jalan Allah.”
MURSYID- MURSYID SYAIKH ABDUL QODIR AL JAELANI
Mursyid-Mursyid beliau, jika saya tidak salah menuliskan dan tidak terlupa atau khilaf dan menimbulkan keAlpaan, saya secara langsung meminta ma’af kepada para Mursyid yg tidak tersebut namanya :
Nabi Khidhir As.
Syekh Abdullah Sum’i Ra
Beliau adalah kakek dari Syekh Abdul Qadir al Jilani Ra. karena setelah Ayah beliau meninggal, tanggung jawab diambil alih oleh kakek syekh Abdul Qadir al Jilani
Dalam bidang keilmuan Qiraat, Tafsir, Hadist, Fikih, Syariat dann Tarekat
– Syekh Abul Wafa’ ‘Ali bin ‘Aqil
– Syekh Abu Sa’id bin Abdul Karim
– Syekh Abul Ana’im Muhammad bin Ali bin Muhammad
– Syekh Abu Sa’id bin Mubarak al-Makhzumi Ra.
– Syekh Abul Khair Hammad bin Muslim ad-Dabbas Ra
Dibidang Adab:
– Allamah Abu Zakariya at-Tabrizi Ra.
Dibidang Fikih dan Ushul Fikih:
– Syekh Abul Wafa’ bin Aqil al-Hanbali
– Abul Hasan Muhammad bin Qadhi Abul Ula
– Syekh Abul Khatab Mahfuzh al-Hanbali
– Qadhi Abu Sa’id al-Mubarak bin Ali al-Makhzumi al-Hanbali Ra.
Dibidang Hadis :
– Sayyid Abul Barakat Thalhah al-aquli
– Abul Ana’im Muhammad bin Ali bin Maimun al-Farsi
– Abu Uthman Ismail bin Muhammad al-Ishbihani
– Abu Ghalib Muhammad bin Hasan al-Baqillani
– Abu Muhammad Ja’far bin Ahmad bin al-Husaini
– Sayyid Muhammad Mukthtar al-Hasyimi
– Sayyid Abu Manshur Abdur Rahman al-Qa’az
– Abul Qasim Ali bin Ahmad Ban’an al-Karghi
demikian InsyaAlLah tidak terjadi kesalahan dalam menulis dan kekurangan dalam menyebutkan..
[sumber al-Ghauts al-A’zham Sulthan al-Auliya Sayyid Syekh Muhyi ad-Din ‘Abdul Qadir al-Jilani al-Hasan al-Husaini Ra. oleh Maulana Muhammad Aftsab Cassim Razvi dan al-Ghauts al-A’zham Muhyi ad-Din Sayyid Syekh ‘Abdul Qadir al-Jilani oleh Siddiq Osman Noor
Muhammad]
KAROMAH SYAIKH ABDUL QODIR AL JAELANI
Jumlah karomah yang dimiliki oleh asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani banyak sekali:
Syaikh Abil AbbasAhmad ibn Muhammadd ibn Ahmad al-Urasyi al-Jily:
Pada suatu hari, aku telah menghadiri majlis asy-Sayikh Abdul Qodir al-Jilani berserta murid-muridnya yang lain. Tiba-tiba, muncul seekor ular besar di pangkuan asy-Syaikh. Maka orang ramai yang hadir di majlis itu pun berlari tunggang langgang, ketakutan. Tetapi asy-Syaikh al-Jilani hanya duduk dengan tenang saja. Kemudian ular itu pun masuk ke dalam baju asy-Syaikh dan telah merayap-rayap di badannya. Setelah itu, ular itu telah naik pula ke lehernya. Namun, asy-Syaikh masih tetap tenang dan tidak berubah keadaan duduknya.
Setelah beberapa waktu berlalu, turunlah ular itu dari badan asy-Syaikh dan ia telah seperti bicara dengan asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani . Setelah itu, ular itu pun ghaib.
Kami pun bertanya kepada asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani tentang apa yang telah dipertuturkan oleh ular itu. Menurut beliau ular itu telah berkata bahwa dia telah menguji wali-wali Allah yang lain, tetapi dia tidak pernah bertemu dengan seorang pun yang setenang dan sehebat asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani .
Pada suatu hari, ketika asy-Syaikh sedang mengajar murid-muridnya di dalam sebuah majlis, seekor burung telah terbang di udara di atas majlis itu sambil mengeluarkan satu bunyi yang telah mengganggu majlis itu. Maka asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pun berkata, “Wahai angin, ambil kepala burung itu.” Seketika itu juga, burung itu telah jatuh ke atas majlis itu, dalam keadaan kepalanya telah terputus dari badannya.
Setelah melihat keadaan burung itu, asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pun turun dari kursi tingginya dan mengambil badan burung itu, lalu disambungkan kepala burung itu ke badannya. Kemudian asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani telah berkata, “Bismillaahirrahmaanirrahim.” Dengan serta-merta burung itu telah hidup kembali dan terus terbang dari tangan asy-Syaikh.
Maka takjublah para hadirin di majlis itu karena melihat kebesaran Allah yang telah ditunjukkanNya melalui tangan asy-Syaikh.
Telah diceritakan di dalam sebuah riwayat:
Pada suatu hari, di dalam tahun 537 Hijrah, seorang lelaki dari kota Baghdad (dikatakan oleh sesetengah perawi bahawa lelaki itu bernama Abu Sa‘id ‘Abdullah ibn Ahmad ibn ‘Ali ibn Muhammad al-Baghdadi) telah datang bertemu dengan asy-Syaikh Jilani, berkata, bahwa dia mempunyai seorang anak dara cantik berumur enam belas tahun bernama Fatimah. Anak daranya itu telah diculik (diterbangkan) dari atas anjung rumahnya oleh seorang jin.
Maka asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pun menyuruh lelaki itu pergi pada malam hari itu, ke suatu tempat bekas rumah roboh, di satu kawasan lama di kota Baghdad bernama al-Karkh.
“Carilah bonggol yang kelima, dan duduklah di situ. Kemudian, gariskan satu bulatan sekelilingmu di atas tanah. Kala engkau membuat garisan, ucapkanlah “Bismillah, dan di atas niat asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani ” Apabila malam telah gelap, engkau akan didatangi oleh beberapa kumpulan jin, dengan berbagai-bagai rupa dan bentuk. Janganlah engkau takut. Apabila waktu hampir terbit fajar, akan datang pula raja jin dengan segala angkatannya yang besar. Dia akan bertanya hajatmu. Katakan kepadanya yang aku telah menyuruh engkau datang bertemu dengannya. Kemudian ceritakanlah kepadanya tentang kejadian yang telah menimpa anak perempuanmu itu.”
Lelaki itu pun pergi ke tempat itu dan melaksanakan arahan asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani itu. Beberapa waktu kemudian, datanglah jin-jin yang cuba menakut-nakutkan lelaki itu, tetapi jin-jin itu tidak berkuasa untuk melintasi garis bulatan itu. Jin-jin itu telah datang bergilir-gilir, yakni satu kumpulan selepas satu kumpulan. Dan akhirnya, datanglah raja jin yang sedang menunggang seekor kuda dan telah disertai oleh satu angkatan yang besar dan hebat rupanya.
Raja jin itu telah memberhentikan kudanya di luar garis bulatan itu dan telah bertanya kepada lelaki itu, “Wahai manusia, apakah hajatmu?”
Lelaki itu telah menjawab, “Aku telah disuruh oleh asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani untuk bertemu denganmu.”
Begitu mendengar nama asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani diucapkan oleh lelaki itu, raja jin itu telah turun dari kudanya dan terus mengucup bumi. Kemudian raja jin itu telah duduk di atas bumi, disertai dengan seluruh anggota rombongannya. Sesudah itu, raja jin itu telah bertanyakan masalah lelaki itu. Lelaki itu pun menceritakan kisah anak daranya yang telah diculik oleh seorang jin. Setelah mendengar cerita lelaki itu, raja jin itu pun memerintahkan agar dicari si jin yang bersalah itu. Beberapa waktu kemudian, telah dibawa ke hadapan raja jin itu, seorang jin lelaki dari negara Cina bersama-sama dengan anak dara manusia yang telah diculiknya.
Raja jin itu telah bertanya, “Kenapakah engkau sambar anak dara manusia ini? Tidakkah engkau tahu yang dia ini berada di bawah naungan al-Quthb ?”
Jin lelaki dari negara Cina itu telah mengatakan yang dia telah jatuh berahi dengan anak dara manusia itu. Raja jin itu pula telah memerintahkan agar dipulangkan perawan itu kepada bapanya, dan jin dari negara Cina itu pula telah dikenakan hukuman pancung kepala.
Lelaki itu pun mengatakan rasa takjubnya dengan segala perbuatan raja jin itu, yang sangat patuh kepada asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani.
Raja jin itu berkata pula, “Sudah tentu, karena asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani boleh melihat dari rumahnya semua kelakuan jin-jin yang jahat. Dan mereka semua sedang berada di sejauh-jauh tempat di atas bumi, karena telah lari dari sebab kehebatannya. Allah Ta’ala telah menjadikan asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani bukan saja al-Qutb bagi umat manusia, bahkan juga ke atas seluruh bangsa jin.”
Telah bercerita asy-Syaikh Abi ‘Umar ‘Uthman dan asy-Syaikh Abu Muhammad ‘Abdul Haqq al-Huraimy:
Pada 3 hari bulan Safar, kami berada di sisi asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani Pada waktu itu, asy-Syaikh sedang mengambil wudu dan memakai sepasang terompah. Setelah selesai menunaikan solat dua rakaat, dia telah bertempik dengan tiba-tiba, dan telah melemparkan salah satu dari terompah-terompah itu dengan sekuat tenaga sampai tak nampak lagi oleh mata. Selepas itu, dia telah bertempik sekali lagi, lalu melemparkan terompah yang satu lagi. Kami yang berada di situ, telah melihat dengan ketakjubannya, tetapi tidak ada seorang pun yang telah berani menanyakan maksud semua itu.
Dua puluh tiga hari kemudian, sebuah kafilah telah datang untuk menziarahi asy-Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jilany. Mereka (yakni para anggota kafilah itu) telah membawa hadiah-hadiah untuknya, termasuk baju, emas dan perak. Dan yang anehnya, termasuk juga sepasang terompah. Apabila kami amat-amati, kami lihat terompah-terompah itu adalah terompah-terompah yang pernah dipakai oleh asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pada satu masa dahulu. Kami pun bertanya kepada ahli-ahli kafilah itu, dari manakah datangnya sepasang terompah itu. Inilah cerita mereka:
Pada 3 haribulan Safar yang lalu, ketika kami sedang di dalam satu perjalanan, kami telah diserang oleh satu kumpulan perompak. Mereka telah merampas kesemua barang-barang kami dan telah membawa barang-barang yang mereka rampas itu ke satu lembah untuk dibagi-bagikan di antara mereka.
Kami pun berbincang sesama sendiri dan telah mencapai satu keputusan. Kami lalu menyeru asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani agar menolong kami. Kami juga telah bernazar apabila kami sudah selamat, kami akan memberinya beberapa hadiah.
Tiba-tiba, kami terdengar satu jeritan yang amat kuat, sehingga menggegarkan lembah itu dan kami lihat di udara ada satu benda yang sedang melayang dengan sangat laju sekali. Beberapa waktu kemudian, terdengar satu lagi bunyi yang sama dan kami lihat satu lagi benda seumpama tadi yang sedang melayang ke arah yang sama.
Selepas itu, kami telah melihat perompak-perompak itu berlari lintang-pukang dari tempat mereka sedang membagi-bagikan harta rampasan itu dan telah meminta kami mengambil balik harta kami, karena mereka telah ditimpa satu kecelakaan. Kami pun pergi ke tempat itu. Kami lihat kedua orang pemimpin perompak itu telah mati. Di sisi mereka pula, ada sepasang terompah. Inilah terompah-terompah itu.
Telah bercerita asy-Syaikh Abduh Hamad ibn Hammam:
Pada mulanya aku memang tidak suka kepada asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani. Walaupun aku merupakan seorang saudagar yang paling kaya di kota Baghdad waktu itu, aku tidak pernah merasa tenteram ataupun berpuas hati.
Pada suatu hari, aku telah pergi menunaikan solat Jum’at. Ketika itu, aku tidak mempercayai tentang cerita-cerita karomah yang dikaitkan pada asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani. Sesampainya aku di masjid itu, aku dapati beliau telah ramai dengan jamaah. Aku mencari tempat yang tidak terlalu ramai, dan kudapati betul-betul di hadapan mimbar.
Di kala itu, asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani baru saja mulai untuk khutbah Jumaat. Ada beberapa perkara yang disentuh oleh asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani yang telah menyinggung perasaanku. Tiba-tiba, aku terasa hendak buang air besar. Untuk keluar dari masjid itu memang sukar dan agak mustahil. Dan aku dihantui perasaan gelisah dan malu, takut-takut aku buang air besar di sana di depan orang banyak. Dan kemarahanku terhadap asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pun bertambah dan memuncak.
Pada saat itu, asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani telah turun dari atas mimbar itu dan telah berdiri di hadapanku. Sambil beliau terus memberikan khutbah, beliau telah menutup tubuhku dengan jubahnya. Tiba-tiba aku sedang berada di satu tempat yang lain, yakni di satu lembah hijau yang sangat indah. Aku lihat sebuah anak sungai sedang mengalir perlahan di situ dan keadaan sekelilingnya sunyi sepi, tanpa kehadiran seorang manusia.
Aku pergi membuang air besar. Setelah selesai, aku mengambil wudlu. Apabila aku sedang berniat untuk pergi bersolat, dan tiba-tiba diriku telah berada ditempat semula di bawah jubah asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani. Dia telah mengangkat jubahnya dan menaiki kembali tangga mimbar itu.
Aku sungguh-sungguh merasa terkejut. Bukan karena perutku sudah merasa lega, tetapi juga keadaan hatiku. Segala perasaan marah, ketidakpuasan hati, dan perasaan-perasaan jahat yang lain, semuanya telah hilang.
Selepas sembahyang Jum’at berakhir, aku pun pulang ke rumah. Di dalam perjalanan, aku menyadari bahwa kunci rumahku telah hilang. Dan aku kembali ke masjid untuk mencarinya. Begitu lama aku mencari, tetapi tidak aku temukan, terpaksa aku menyuruh tukang kunci untuk membuat kunci yang baru.
Pada keesokan harinya, aku telah meninggalkan Baghdad dengan rombonganku karena urusan perniagaan. Tiga hari kemudian, kami telah melewati satu lembah yang sangat indah. Seolah-olah ada satu kuasa ajaib yang telah menarikku untuk pergi ke sebuah anak sungai. Barulah aku teringat bahwa aku pernah pergi ke sana untuk buang air besar, beberapa hari sebelum itu. Aku mandi di anak sungai itu. Ketika aku sedang mengambil jubahku, aku telah temukan kembali kunciku, yang rupa-rupanya telah tertinggal dan telah tersangkut pada sebatang dahan di situ.
Setelah aku sampai di Baghdad, aku menemui asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani dan menjadi anak muridnya

created by shoban gendeng jabrik tawasulhikmah91@gmail.com

Rabu, 11 Juni 2008

LELUHUR TANAH PASUNDAN

tawasulhikmah91Gmail.com
I. Garut.
1. Sunan Pancer / Cipancar / Prabu Wijaya Kusumah ( Limbangan )
2. Eyang Rangga Megat sari ( Pasir astana Limbangan )
3. Rd.Lenggang Ningrat ( Pasir astana Limbangan )
4. Rd.Lenggang sari ( Pasir astana Limbangan )
5. Rd.Lenggang Kencana ( Pasir astana Limbangan )
6. Rd.Rangga megat sari ( Pasir astana Limbangan )
7. Rd.Wangsa dita 1 ( Pasir astana Limbangan )
8. Rd.Wangsa dita 2 ( Pasir astana Limbangan )
9. Rd.Lenggang kencana ( Pasir astana Limbangan )
10. Eyang Geusan Ulun ( Pasir astana Limbangan )
11. Eyang seren sumeren / paku bumi ( Pasir astana Limbangan )
12. Sunan Rumenggong ( Poronggol Limbangan )
13. Eyang Sepuh ( Gunung Ageung Pangeureunan Limbangan )
14. Eyang Bangkerong ( Pangeureunan Limbangan )
15. Eyang Batara Kusumah ( Pangeureunan Limbangan )
16. Eyang Dipati Ukur ( Gunung Tanjung Limbangan )
17. Eyang Geureudog panto ( Gunung Tanjung Limbangan )
18. Eyang Jagat Nata ( Gunung Batara Guru Limbangan )
19. Eyang Taji Malela ( Kaki Gunung Batara Guru Limbangan )
20. Eyang Prabu Adnan Wisesa ( Cihanjuang Limbangan )
21. Nyimas ratu ratna Ningrum ( Cihanjuang Limbangan )
22. Eyang Simpay ( Cihanjuang Limbangan )
23. Dalem Emas ( Cikiluwut Limbangan )
24. Dalem Santri ( Cikiluwut Limbangan )
25. Dalem Petinggi ( Cikiluwut Limbangan )
26. Dalem Saba dora ( Cikiluwut Limbangan )
27. Dalem Paraji ( Cikiluwut Limbangan )
28. Dalem Dukun ( Cikiluwut Limbangan )
29. Eyang Tongka Kusumah ( Sempil Limbangan )
30. Eyang Giwang kawangan ( Sempil Limbangan )
31. Eyang Gagak lumayung ( Sempil Limbangan )
32. Eyang Surya kanta kancana ( Rema / Sempil Limbangan )
33. Eyang Rd.Indra triwilis / Jaga riksa ( Pasir paranje Limbangan )
34. Embah Khotib ( Leuwi karet pasir astana Limbangan )
35. Dalem Demang ( Leuwi karet pasir astana Limbangan )
36. Embah Ronggeng ( Leuwi karet pasir astana Limbangan )
37. Embah Tanjung ( batu rompe astana Limbangan )
38. Dalem Santri ( Simpen Limbangan )
39. Eyang Tongeret,Eyang Rongkah, Eyang Santri ( Simpen )
40. Uyut Asep ( Cisalam Simpen Limbangan )
41. Ebah Mulud,Eyang Raksa, Eyang Agus ASAR Pugeuran (Simpen)
42. Eyang Garada ( Simpen Limbangan )
43. Eyang Bentang ( Cijolang Limbangan )
44. Eyang Slamara ( Slamara Limbangan )
45. Mama Kindam ( Cijolang Limbangan )
46. Eyang Anwar ( Cibalampu Limbangan )
47. Eyang Salinggih ( Cicadas Limbangan )
48. Dalem Rangga prana / Kiara lawang ( Kiara lawang Limbangan )
49. Eyang Bustamil ( Astana balong Limbangan )
50. Syeh Yusuf ( Astana balong Limbangan )
51. Dalem Kaum / Wangsa reja ( Kaum Limbangan )
52. Eyang Balung tunggal ( Monggor Limbangan )
53. Dalem Kasep / Wijaya Kusumah ( Batu karut Limbangan )
54. Eyang Pasir rakit ( Saapan Limbangan )
55. Eyang Nuriyyah ( Leuwi bolang Limbangan )
56. Eyang Siti bagdad ( Cikeuleupu Limbangan )
57. Eyang Wira bangsa ( Cikeuleupu Limbangan )
58. Dalem Pakemitan ( Cimanjah Limbangan )
59. Dalem Sayita ( Leuwi bagong Limbangan )
60. Eyang Carios ( Pasir waru Limbangan )
61. Uyut Asep ( Ranca panjang Limbangan )
62. Eyang Nangka baya ( Cipicung Cigagade Limbangan )
63. Eyang Jaksa ( Baduyut Cipeujeuh Limbangan )
64. Dalem Cibingbin ( Cibingbin Selaawi )
65. Embah Yadi ( Garela Selaawi )
66. Dalem Camat ( Nagrog Selaawi )
67. Eyang Abdul mutholib ( Kp. Situ gede Putra jawa Selaawi )
68. Eyang Jawa / Aria Jaya Kusumah ( Putra jawa Selaawi )
69. Eyang Reuntas Kikis ( Kp. dadap Putra jawa Selaawi )
70. Eyang Suta Bangsa, Jaga Satru, Jaga Bela ( Putra jawa selaawi )
71. Maqom Kiaya / Nur A’sim ( Cikuya Selaawi )
72. Maqom Sempur,Maqom Dapa,Maqom Dalem cikuya ( Cikuya )
73. Eyang Kesrek Pangangonan ( Gunung Pabeasan Selaawi )
74. Eyang Munding wangi ( Cisorok Gunung Pabeasan Selaawi )
75. Bangun Rebang,Mangun Dipa ( cihaseum
76. Bangsuwita / Antiyeum ( Gunung Pabeasan
77. Nyimas Mayang Sari ( Gunung Palasari Selaawi )
78. Prabu Kartadikusumah ( Leumah Putih Selaawi )
79. Prabu Surya kencana, ( Depok Selaawi )
80. Eyang mangkudjampana (G. Tjakrabuana, Malangbong Garut)
81. Eyang Dahian bin Saerah (Gunung ringgeung, garut)
82. Embah Mansur Wiranatakusumah (Sanding,malangbong Garut)
83. Embah Sulton Malikul Akbar (Gunung Ringgeung Garut)
84. Embah Gurangkentjana (Tjikawedukan, G. Ringgeung malangbong Garut)
85. Eyang Istri (Susunan Gunung Ringgeung Malangbong)
86. Embah Hadji Sagara Mukti (Susunan Gunung Ringgeung)
87. Eyang Yaman (Tjikawedukan, Gunung Ringgeung Garut)
88. Eyang Pangtjalikan (Gunung Ringgeung malangbong Garut)
89. Raden Ula-ula Djaya (Gunung Ringgeung malangbong Garut)
90. Eyang Andjana Suryaningrat (Gunung Puntang Garut )
91. Eyang Mandrakuaumah (Gunung Gelap Pameungpeuk, Garut)
92. Raden Rangga Aliamuta (Kamayangan, Lewo-Garut)
93. Eayang Wali Kiai Hadji Djafar Sidik (Tjibiuk Limbangan, Garut)
94. Eyang Prabu Mulih / Syeh Abdul jabar (Tjibiuk Limbangan)
95. Eyang A’syim (Tjibiuk Limbangan, Garut)
96. Eyang Siti Fatimah (Tjibiuk Limbangan, Garut)
97. Eyang Imam Sulaeman (Gunung Gede, Tarogong Garut)
98. Embah Djaksa (Tadjursela, Wanaraja Garut )
99. Mamah Kiai hadji Yusuf Todjiri (Wanaradja Garut)
100. Syekh Sukri (Pamukiran, Lewo Garut)
101. Embah Ranggawangsa (Sukamerang, bandrek, Garut)
102. Embah Djaya Sumanding (Sanding Garut)
103. Eyang Dewi Pangreyep (Gunung Pusaka Padang Garut)
104. Ibu Mayang Sari (Nangerang Bandrek, kersamanah Garut)
105. Eyang Prabu Widjayakusumah (Susunan Payung Bandrek cibatu garut)
106. Embah Wali Hasan (Tjikarang Bandrek, kersamanah Garut)
107. Prabu Naga Percona (Gunung Wangun Malangbong Garut)
108. Raden Karta Singa (Bungarungkup Gn Singkup Garut)
109. Embah Braja Sakti (Cimuncang, Lewo malangbong Garut)
110. Prabu Sada Keling (Cibatu Garut)
111. Embah Liud (Bunarungkup, Cibatu Garut)
112. Prabu Kian Santang (Godog Suci, garut)
113. Embah Braja Mukti (Cimuncang, Lewo Garut)
114. Eyang mangkudjampana (Gunung Tjakrabuana, Malangbong)
115. Eyang Adnan Wisesa (Gunung Tjakrabuana, Malangbong Garut)
116. Eyang Mandrakuaumah (Gunung Gelap Pameungpeuk, Garut)
117. Raden Rangga Aliamuta (Kamayangan, Lewo-Garut)
118. Aki Mandjana (Samodja, Kamayangan Lewo-Garut)
119. Eyang Raksa Baya (Samodja, Kamayangan Lewo-malangbong-Garut)
120. Syekh Sukri (Pamukiran, Lewo malangbong Garut)
121. Embah Djaya Sumanding (Sanding)
122. Embah Mansur Wiranatakusumah (Sanding)
123. Eyang Sakti barang / Embah wali Jaenulloh ( Sanding )
124. Eyang Prabu Widjayakusumah (Susunan Payung Bandrek kersamanah )
125. Eyang Jaya Kelana (Sada keeling Sukaweuning Garut)
126. Eyang Siti Sakti (Sada keeling Sukaweuning Garut)
127. Eyang Jaya Perkosa ( Gunung Sadakeling Sukaweuning )
128. Syeh Abdul Jalil ( Kp.Dukuh Cikelet )
129. Eyang Nur Yayi ( Suci )
130. Eyang Wangsa Muhamad / Eyang Papak ( Cinunun Wanaraja)
131. Eyang Arif Muhamad ( Situ Cangkuang Leles )
132. Eyang Jaya Karantenan (timanganten)
II. Tasikmalaya.
1. Embah Purbawisesa (Tjigorowong, Tasikmalaya)
2. Embah Kalidjaga Tedjakalana (Tjigorowong, Tasikmalaya)
3. Aki Wibawa (Tjisepan, Tasikmalaya)
4. Prabu Nagara Seah (Mesjid Agung Tasikmalaya)
5. Ki Adjar Santjang Padjadjaran (Gunung Bentang, Galunggung)
6. Nyi Mas Layangsari (Gunung Galunggung)
7. Aki manggala (Gunung Bentang, Galunggung )
8. Mamah Sepuh (Pesantrean Suralaya )
9. Eyang Hemarulloh (Situ Lengkong Pandjalu)
10. Embah Dalem Jayasri (Calingcing Tasikmalaya)
11. Embah Wali Abdullah (Tjibalong Tasikmalaya)
12. Mamah Abu (Pamidjahan Tasikmalaya)
13 Eyang Parana (Kulur Tjipatujah, Tasikmalaya)
14. Prabu Sampak Wadja (Gunung Galunggung Tasikmalaya)
15. Eyang Entjim (Kulur Tjipatujah, Tasikmalaya)
16. Eyang Santon (Kulur Tjipatujah, tasikmalaya)
17. Eyang Singa Watjana (Kulur Tjipatujah, Tasikmalaya
18. Kanjeng Syekh Abdul Muhyi (Pamijahan Tasikmalaya)
19. Eyang Dalem Darpa Nangga Asta (Tasikmalaya)
20. Eyang Dalem Yuda Negara (Pamijahan Tasikmalaya)
21. Prabu Langlang Buana (Padjagalan, Gunung Galunggung )
22. Prabu Tjanar (Gunung Galunggung)
23. Embah Haji Puntjak (Gunung Galunggung)
24. Aki Wibawa (Tjisepan, Tasikmalaya)
25. Prabu Nagara Seah (Mesjid Agung Tasikmalaya)
26. Dalem Sawidak ( Sukapura )
27. Eyang Padakembang ( Padakembang )
28. Eyang Tubagus Anggariji ( Puspahiyang )
III. Ciamis.
1. Eyang Adipati Hariang kuning (Situ Lengkong, Panjalu Ciamis)
2. Eyang Boros Ngora (Situ Lengkong, Pandjalu Ciamis)
3. Kiai Layang Sari (Rantjaelat Kawali Ciamis)
4. Uyut demang (Tjikoneng Ciamis)
5. Eyang Rengganis (Pangandaran Ciamis)
6. Sri Wulan (Batu Hiu, Pangandaran Ciamis)
7. Eyang Adipati Wastukentjana (Situ Pandjalu Ciamis)
8. Ratu Ayu Sangmenapa (Galuh)
9. Eyang Nila Kentjana (Situ Pandjalu, Ciamis)
10. Eyang Hariangkentjana (Situ Pandjalu Ciamis)
11. Ibu Siti Hadji Djubaedah (Gunung Tjupu Banjar Ciamis)
12. Embah Sangkan Hurip (Ciamis)
13. Embah Djaga Lautan (Pangandaran)
14. Eyang Giwangkara (Djaga Baya Ciamis)
15. Eyang Dempul Walang (Djaga Baya Ciamis)
16. Eyang Dempul Wulung (Djaga Baya Ciamis)
17. Eyang Tjakra Dewa (Situ Lengkong, Pandjalu Ciamis)
18. Eyang Hariang Kuning (Situ Lengkong Pandjalu Ciamis)
19. Dewi Tumetep (Gunung Pusaka Padang , Ciamis)
20. Ki Ajar Sukaresi Permana Dikusumah (G. Padang , Ciamis)
21. Eyang Naga Wiru (Gunung Pusaka Padang , Ciamis)
22. Eyang Anggakusumahdilaga (Gunung Pusaka Padang Ciamis)
23. Eyang Puspa Ligar (Situ Lengkong, Panjalu Ciamis)
IV. Sumedang.
1. Embah wali Mansyur (Tomo, Sumedang)
2. Embah Raden Singakarta (Nangtung, Sumedang)
3. Embah Dalem (Wewengkon, Tjibubut Sumedang
4. Embah Bugis (Kontrak, Tjibubut Sumedang)
5. Ratu Siawu-awu (Gunung Gelap, pameungpeuk Sumedang )
6. Embah Gabug (Marongge)
7. Embah Setayu (Marongge)
8. Embah Naidah(Marongge)
9. Embah Naibah (Marongge)
10. Embah Aji putih jaga riksa (Marongge)
11. Embah Nur alim ( Parung gaul )
12. Embah Raden panganten ( Parung gaul )
13. Eyang Geusan ulun ( Dayeuh luhur )
14. Eyang Jaya perkosa ( Dayeuh luhur )
15. Embah Nanganan ( Dayeuh luhur )
16. Embah Terong peot ( Dayeuh luhur )
17. Nyimas ratu Harisbaya ( Dayeuh luhur )
18. Eyang Taji malela ( Gunung Lingga )
19. Embah Durdjana (Sumedang)
20. Embah Panungtung Haji Putih Tunggang Larang Curug Emas (Tjadas Ngampar )
21. Raden AstuManggala (Djemah Sumedang)
22. Eyang Pandita (Nyalindung Sumedang)
23. Raden Balung Tunggal (Sangkan Djaya, Sumedang)
24. Eyang Hadji Tjampaka (Tjikandang, Tjadas Ngampar )
25. Eyang Mundinglaya Dikusumah (sangkan Djaya, Sumedang)
26. Eyang Rangga Wiranata (Sumedang)
27. Dalem Surya Atmaja (Sumedang)
28. Embah Raden Widjaya Kusumah (Tjiawi Sumedang)
29. Embah Raden Singakarta (Nangtung, Sumedang)
V. Bandung.
1. Eyang Angkasa (Gunung Kendang, Pangalengan)
2. Embah Kusumah (Gunung Kendang, Pangalengan)
3. Embah Djaga Alam (Tjileunyi)
4. Sembah Dalaem Pangudaran (Tjikantjung Majalaya,Bandung
5. Embah Landros (Tjibiru Bandung))
6. Eyang latif (Tjibiru Bandung)
7. Eyang Penghulu (Tjibiru Bandung)
8. Nyi Mas Entang Bandung (Tjibiru Bandung)
9. Eyang Kilat (Tjibiru Bandung)
10. Mamah Hadji Umar (Tjibiru Bandung)
11. Mamah Hadji Soleh (Tjibiru Bandung)
12. Mamah Hadji Ibrahim (Tjibiru Bandung)
13. Uyut Sawi (Tjibiru Bandung)
14. Darya binSalmasih (Tjibiru Bandung)
15. Mmah Hadji Sapei (Tjibiru Bandung)
16. Mamah Sepuh ((Gunung Halu Tjililin Bandung)
17. Sembah Dalem Pangudaran (Tjikantjung Cicalengka)
VI. Banten.
1. Embah Hadji Muhammad Pakis (Banten)
2. Uyut Manang Sanghiang (Banten)
3. Embah Santiung (ujung Kulon Banten)
4. SYEH MUHAMMAD SHOLEH GUNUNG SANTRI CILEGON
5. SYEH MUHAMMAD SHIHIB TAGAL PAPA MENGGER
6. SYEH ABDUL RO’UF PARAJAGATI CINGENGE
7. SYEH ABDUL GHANI MENES
8. SYEH MAHDI CARINGIN LABUAN
9. SYEH ABDURROHMAN ASNAWI CARINGIN LABUAN
10. SYEH WALI DAWUD CINGINDANG LABUAN
11. SYEH MACHDUM ABDUL DJALIL KALIMAH BARRONI G. RAMA SUKOWATI LABUAN
12. SYEH CINDRAWULUNG GUNUNG SINDUR TANGERANG
13. SYEH HAJI KAISAN
14. SYEH HAJI SILAIMAN GUNUNG SINDUR
15. SYEH KANJENG KYAI DALEM MUSTOFA GUNUNG SINDUR
16. SYEH KYAI BAGUS ATIK SULAIMAN QHOLIQ SERPONG
17. NYAIMAS RATU PEMBAYUN DIPANG UTARA BLORA
18. NYAIMAS RATU SARANENGAH JAMBI
19. NYAIMAS RATU KAMUDARAGI PALEMBANG
20. PANGERAN JUPRIE RATU JEPARA
21. PANGERAN PRINGGALAYA RATU BETAWI
22. PANGERAN PEJAJARAN RATU BOGOR
23. PANEMBAHAN PEKALONGAN MAULANA YUSUF RATU BANTEN
24. SULTHON MUCHAMMAD SABAKINGKING RATU BANTEN
25. SULTHON ABUL MUFAQIR ‘ABDUL QODIR KENARI
26. SULTHON ABUL MA’ANALI ACHMAD KENARI
27. SULTHON AGUNG ABUL FATEHI ABDUL FATTAH TIRTAYASA<